Pagi ini mentari bersinar cerah. Merapi dan Merbabu tampak gagah berdiri di belakangku. Jalanan sudah mulai sepi. Ramainya lalu lintas yang biasanya didominasi anak sekolah sudah tidak terlihat. Jam segini mereka sudah masuk kelas. Para petugas pengaman jalan juga sudah balik kanan ke kantornya. Sementara para awak pengangkut material vulkanik belum melintas. Di jalan kelas kabupaten ini ada kebijakan dari penguasa wilayah bahwa armada pengangkut material vulkanik dilarang beroperasi dari pukul 06.00 sampai pukul 08.00 waktu setempat.
Kukendarai gerobag merah kesayanganku dengan hati-hati. Walau jalanan sepi tetapi aku tetap tidak mau mengebut. Menurutku cepat ataupun lambat dalam berkendara, tidaklah begitu penting, yang paling penting adalah mengutamakan keselamatan diri dan pengguna jalan yang lain. Lagipula kondisi jalan yang kulalui menuntut penggunanya untuk ekstra hati-hati. Selain tidak rata dan bergelombang juga sering ada lubang maupun benjolan aspal yang mengelupas di sana sini. Bahkan sering kujumpai ada material vulkanik tercecer di sepanjang jalan.
Kerusakan jalan masih menjadi persoalan sehari-hari. Tentu aku tak bisa menyalahkan para awak pengangkut material yang sering over tonase karena mereka juga dituntut untuk mengejar setoran. Dulu satu dua kali pernah ada razia muatan dari aparat keamanan, pemerintah maupun sipil yang mengadakan penertiban tonase. Setiap armada yang melebihi batas tonase, muatannya harus diturunkan sehingga kelaikan jalan lebih terjaga. Tetapi tak bertahan lama. Mungkin mereka lelah ataupun bosan karena harus berjaga setiap saat.
Pernah juga warga yang dirugikan melakukan aksi damai menuntut penutupan pertambangan, tetapi sampai saat ini belum terlihat hasilnya. Bahkan kalau kuamati, yang terjadi adalah aksi damai yang saling bergantian antara warga yang pro maupun kontra. Penguasa wilayah pun dihadapkan pada opsi yang dilematis, seakan harus menelan pahitnya buah simalakama. Akhirnya wargapun hanya mengeluarkan isi hatinya lewat tulisan-tulisan lucu sampai jorok di ruang publik. Ada yang membuat poster besar yang di pasang di pinggir jalan, “Ngati-ati, ngebut=benjut!”. Sampai ada poster satiran untuk memperingatkan pengguna jalan tentang kondisi jalan, “ Nikmatilah jalan berlubang, walau tak senikmat lubang berjalan!” Ada pula driver armada pengangkut material yang membuat tulisan di pantat kendaraannya “Nek aku raoleh liwat, terus omahmu arep tokgawe seko gandum?” Halah, apa dayaku, aku hanya guru SD, tak punya power untuk mengatasi permasalahan ini, biarlah pro kontra itu dipikirkan para calon penguasa yang akan berlaga di pilkada yang sudah semakin dekat.
Pagi ini setelah mengantar anak-anakku di sekolahnya masing-masing aku dan kedua temanku segera berangkat untuk mengikuti seleksi Olimpiade Guru Nasional di kabupaten. Ya, di kecamatanku, aku dan keempat temanku sesama guru kelas SD hari ini diperintah atasan agar mewakili kecamatan kami untuk mengikuti seleksi Olimpiade Guru Nasional tingkat kabupaten. Kedua temanku sudah menunggu di lokasi, sedangkan kami bertiga berangkat bersama. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.40 padahal registrasi dimulai pukul 07.30 dan tes tertulis dilaksanakan pukul 08.00. Semua persiapan sudah kami lakukan sebisa kami walau tanpa adanya pembimbingan dari pengawas sekolah ataupun komunitas-komunitas guru.
Duduk di sebelah kiriku Pak Agus Khan (lafalnya betul Khan, bukan Kan, seperti dalam film Bollywood, “I’m Khan, I’m not terrorist”), seorang guru muda pindahan dari lereng Merbabu. Sekarang dia mengajar di sekolah unggulan di kecamatanku. Sementara Bu Wahyu, guru yang umurnya sembilan tahun lebih muda daripada aku, duduk di kursi tengah sendirian. Pak Khan dua kali berturut-turut ini mengikuti seleksi Olimpiade Guru Nasional, sementara aku dan Bu Wahyu baru kali ini ikut.
"Surat tugas sudah dibawa, Mas Khan?” tanyaku mengingatkan.
"Sudah, Pak, pokoknya beres!" jawabnya.
"Pengujiannya yang tahun kemarin bagaimana, Mas?" tanyaku sambil melihat spion kiri.
“Mengerjakan pilihan ganda, kok!”
Perjalanan kami hanya diisi percakapan tentang berbagai pengalaman selama kami menjadi guru. Jembatan Pabelan, jembatan Elo, Candi Mendut serta tiga lampu merah kami lewati. Tak terasa kami sudah sampai depan kantor dinas kabupaten. Terlihat seorang petugas security berada di depan gerbang.
“Parkir di mana, Pak?” tanya Bu Wahyu.
“Itu ada yang kosong!” sahut Pak Khan sambil menunjuk di sebelah pintu kanan gedung.
Segera kuparkir kendaraan dengan rapi. Setelah semua keluar dan tidak ada tas yang tertinggal, segera kututup kaca jendela dan kukunci pintu agar lebih aman. Kami bertiga segera masuk gedung melalui pintu depan.
“Lantai berapa?” tanya Pak Khan.
“Tiga, Pak, ayo kita sudah terlambat!” jawab Bu Wahyu mengajak lebih cepat menaiki tangga.
Sampai lantai tiga kulihat beberapa petugas sudah menunggu. Rupanya peserta yang sudah datang sudah mengerjakan soal. Kami disuruh segera menandatangani daftar hadir.
“Urutan nama di daftar hadir sesuai abjad, Pak,” kata seorang petugas yang masih berseragam SLTA. Mungkin dia adalah siswa SMK yang sedang melaksanakan praktek. Dulu waktu aku masih bersekolah di SMK, ada program praktek langsung di dunia kerja, seingatku namanya On The Job Training (OJT) ataupun sering disebut Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Siswa SMK diwajibkan magang selama tiga bulan, baik di instansi pemerintahan maupun swasta. Mungkin sekarang pun di jenjang SMK masih ada program sejenis.
Kulihat di dekat meja registrasi sudah ada dua macam kotak putih, kemungkinan adalah snack dan makan siang.
“Waduh, bisa sampai sore, nih!” gumamku. Seingatku ada suatu kesepakatan, bahwa jika suatu acara resmi selesainya melewati jam makan siang, maka panitia harus menyediakan makan siang bagi peserta.
“Jangan lupa, lihat nomor urut daftar hadirnya!” kata seorang bapak panitia sambil memberikan paket soal dan lembar jawab.
Kamipun segera memasuki ruangan mencari tempat duduk. Sepertinya ruangan ini telah diseting untuk digunakan 119 peserta yang akan mengikuti seleksi. Waduh, rupanya kami peserta terakhir yang datang. Ruangan sudah penuh dan semua peserta terlihat asyik membaca paket soal. Ada yang berwajah serius, ada pula yang terlihat santai.
“Nomor berapa, Mas?” tanya seorang bapak yang mengawasi ruangan dengan ramah.
“Delapan lima, Pak!” jawabku mantap.
“OK, sana dekat dinding, kursi ketiga dari belakang!” tunjuknya.
“Terima kasih, Pak!” jawabku sambil menuju kursi yang ditunjukkan sambil menyapa peserta yang sudah duduk manis di kursinya. Kulihat Jhon, sahabatku yang rumahnya dekat obyek wisata milik Pemprov Jateng, gardu pandang Ketep Pass (jangan diplesetkan jadi ketepas ketepus, lho!). Jhon War adalah teman sekelas waktu kami kuliah diploma di pojok beteng Jogja, ia sekarang masih bertugas di kaki gunung Andong. Dia sudah duduk enak di kursi belakang sambil asyik mengerjakan soal.
Segera aku duduk. Kubuka tas dan kukeluarkan map plastikku tempat aku membawa SPPD. Kugunakan map plastik sebagai alas menulis. Kemarin aku sudah mencari keenam buah alas tulisku, tetapi satupun tak ada yang terlihat. Mungkin sudah digunakan sebagai alat bermain ketiga anak kesayanganku, atau digunakan untuk mengipasi anglo jika pasokan tabung gas tersendat .
Setelah kuletakkan tas, kupisahkan lembar jawaban yang masih menyatu dengan paket soal dan kuletakkan di atas map.
“Masya Allah!” teriakku (dalam hati saja) setengah tidak percaya ketika melihat ada seratus nomor di lembar jawab. Segera kulihat halaman terakhir naskah soal, benar ternyata ada seratus soal yang harus kujawab di selembar kertas HVS (entah, berapa gram) tersebut.
Bersambung ke Kejutan saat OGN