Augerah itu Nyata

 Cerita sebelumnya Kejutan Saat OGN


Kulewati saja semua soal yang sulit bagiku, sudah menguras waktu tetapi jawaban selalu buntu. Akhirnya sampailah aku ke soal materi IPA. Kalimat soalnya pendek-pendek, begitupun opsi jawabannya. Hanya kubaca sekilas, tidak pernah kuulang. Beberapa soal yang berbahasa Inggris tidak kupahami maksudnya, tetapi aku silang saja lembar jawabku. Dalam satu menit mungkin tiga soal dapat kujawab sehingga bagiku terasa lebih cepat mengerjakan soal IPA daripada Bahasa Indonesia, apalagi matematika.

Soal-soal IPS kukerjakan dengan lebih cepat. Dalam satu menit mungkin dapat kujawab tiga sampai enam soal. Aku tak tahu, apakah karena bobot soal yang tidak begitu sulit bagiku, ataukah karena aku sudah tidak konsentrasi sehingga jurus pengawuranku yang kugunakan. Ketika aku mulai menyilang pilihan nomor seratus di lembar jawabku, terdengar peringataan, “Waktu tinggal lima menit!”

Segera kulihat nomor berapa saja yang jawabannya belum kusilang. Semua tentang materi matematika. Kurunut lagi langkah-langkah penyelesaian yang sempat buntu tadi, sambil memainkan logikaku. Akhirnya kutemukan jawaban yang menurutku, sekali lagi hanya menurutku benar.

“Waktu habis, lembar jawab dan soal harus dikumpulkan! Jangan lupa, nomor peserta, nama dan asal kecamatan harus ditulis!” kata pengawas ruang, yang ternyata sebagian besar adalah pengawas sekolah dari beberapa kecamatan.

“Silahkan keluar mengambil snack dan makan siang, karena ruangan ini mau dipakai acara yang lain!” kata pengawas yang lain.

“Waduh, masih kenyang sudah disuruh makan siang?” kataku dalam hati. Kulihat ponsel, ternyata baru pukul 10.05.

Alhamdulillah, akhirnya selesai juga pekerjaanku. Seorang pengawas datang mengumpulkaan hasil pekerjaan. Untuk menghibur diri, kucoba beramah tamah dengan peserta yang duduk di belakangku. Rata-rata mereka masih muda. Jika kulihat dari gaya bicara dan bentuk kacamatanya, kemungkinan mereka adalah para peserta training microsoft di BPTIKP Jateng.

“Di kolom nilai, diisi angka berapa, Mas?” tanyaku.

“Seratus juga boleh, Pak,” jawabnya sambil tertawa bahagia.

“Mungkin ini calon pemenangnya,” batinku. “Ayo istirahat, Mas!” ajakku.

“Monggo!” jawabnya dengan ramah.

Segera kami bergegas menuju pintu keluar. Kulihat Kang Jhon masih asyik menyilangi jawabannya. Rupanya dia menjawab di lembar soal, belum sempat disalin di lembar jawabnya. Aku pun menungguinya selesai agar kami dapat istirahat bersama. Setelah menyerahkan hasil pekerjaannya kepada pengawas, Jhon segera kuajak keluar mengambil minum.

“Hai, kok kamu!” sapa Yaya, (bukan Zaza) seakan tidak percaya kalau aku ikut acara ini. Yaya adalah temanku satu kelompok PPL waktu diploma dulu. Kalau Zaza adalah pangilan anak perempuanku untuk dirinya sendiri, yang malah sering menjadi bahan olokan adiknya.

“Iya, buat genep-genep!” jawabku.

“Ah, kau sudah belajar. Nanti jadi juaranya, ya!” sahut Eka, teman kuliah kami juga. Kemarin sewaktu menerima undangan yng di BC melalui medsos, dari 119 peserta yang diundang, memang banyak sekali kutemukan nama teman kuliahku. Ada juga teman kerja waktu aku belum dimutasi, ada juga beberapa teman diklat IN GPO.

“Amin, makasih!” sahutku. Setiap ada yang mengatakan sesuatu yang baik, selalu aku amini saja. Karena menurut pemahamanku, kata-kata bisa menjadi doa.

Kulihat di depan meja registrasi tempat kami mengambil minum dan snack, peserta agak berjubel. Rupanya tangga untuk turun penuh sehingga kami harus antre. Kugunakan waktu yang ada untuk meminta tanda tangan SPPD.

“Lumayan, nanti bisa ditukar voucher,” gurau seorang bapak peserta yang tidak memakai papan nama.

“Siap, bapak!” jawabku sambil tersenyum.

Aku dan Jhon segera mengambil snack untuk kami bawa ke lantai bawah, maklum di lantai tiga ini sudah penuh. Di tangga kulihat Visil, temanku dari kaki gunung Andong.

“Hai, gimana kabarnya?” sapaku.

“Baik! Wah, kau bisa jadi juara, Pak!” katanya sambil bergurau.

“Amin, makasih!” jawabku. “Semua peserta ya pasti berpeluang jadi juara, nggak mungkin juaranya diambil dari non peserta,” batinku.

“Turun dulu, ya!” kataku tanpa melambaikan tangan karena tanganku sudah repot membawa kardus snack dan nasi.

“Silahkan!” jawabnya.

Aku dan Jhon segera turun. Sampai tempat parkir ternyata tidak ada tempat berteduh. Kamipun terpaksa berdiri di serambi. Kulihat Pak Khan sudah asyik ngobrol dengan teman-teman seangkatannya dulu, sementara Bu Wahyu sibuk mempersiapkan power point 2016-nya bersama teman-teman trainer microsoftnya.

“Hai, Mas Ipunk!” sapaku pada Gus Ipunk yang duduk sendirian di teras. Dia adalah temanku sewaktu PLPG dan juga teman diklat IN GPO.

“Hai, gimana kabarnya? Anaknya berapa? Sekarang ngajar kelas berapa?” tanyanya seperti seorang detektif yang menginterogasi pasien. Kamipun ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon sambil makan snack sampai dia diajak pulang oleh teman-temannya.

“Siap jadi juara, ya, Mas!” katanya.

“Amin, makasih!” jawabku dengan heran, kenapa banyak temanku yang malah mengharapkan aku jadi juara.

Setelah Gus Ipunk pamit pulang, kulihat gawaiku. Terlihat sebuah notifikasi pesan dari istri tercinta di sebuah aplikasi medsos. Kubuka karena biasanya pesan yang dikirm bersifat urgent. Kuunduh lalu kubuka dua buah gambar yang dikirim, ternyata berisi sebuah surat resmi beserta lampirannya dari dinas pendidikan kota sebelah. Wow, betapa terkejutnya aku, karena di lampiran surat resmi itu istriku dinyatakan sebagai juara dua Olimpiade Guru Nasional tingkat kota untuk tahun ini.

Alhamdulillah! Anak-anakku harus segera kuberi tahu tentang berita bagus ini. Pak Khan dan Bu Wahyu pun kuajak kembali ke sekolah agar aku dapat segera menemui anak-anakku yang kemungkinan sudah menungguku di sekolah.


Bersambung lagi...

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak