Cerita sebelumnya Beratnya Olimpiade Guru
Kubalik ke halaman pertama. Kubaca soal pertama, materi Bahasa Indonesia. Cukup sulit menurutku. Soal kedua, ketiga dan seterusnya juga lumayan sulit, paragraf soalnya panjang sekali, bahkan ada yang opsi jawabanya berbentuk paragraf. Materi yang ditanyakan juga sulit bagiku karena menyangkut sejarah pengguanaan bahasa, karya sastra jaman old, jenis-jenis paragraf, dan peraturan perundangan tentang kebahasaan, bahkan sampai nomor peraturan beserta tahun terbitnya. Suatu materi yang tak pernah kubaca ataupun apalagi kuhapal.
Adalagi sebuah paragraf narasi yang ceritanya mbolak-mbalik bagai sebuah mobil silinder yang sedang memadatkan aspal dalam proyek perbaikan jalan. Stimulus soalnya udah membuat bingung pembacanya, kemudian pertanyaanya masih menanyakan jenis alurnya termasuk alur apa, apakah maju, apa mundur, apa maju mundur, apa maju mundur lalu maju lagi. Kalau soal ini ditanyakan kepada siswaku, mungkin langsung dijawab “syantik, seperti kata perinces”.
Kubaca soal berulang kali, tetapi tetap sulit bagiku. Aku hanya pasrah. “Ya, Allah, berilah aku ilham yang benar!”. Sambil kusilang jawaban yang menurutku, hanya menurutku lho, kuanggap benar.
Setelah selesai kukerjakan soal tentang materi Bahasa Indonesia, berikutnya soal matematika. Asyik juga menghitungnya, soalnya cukup menantang adrenalin. Beberapa soal agak mudah saja kukerjakan, karena menurutku itu hanya materi anak SD kelas tinggi. Tetapi sisanya banyak juga soal yang lumayan sulit menurutku. Kalimatnya panjang, taraf soalnya HOTS pakai banget. Kubaca berulang kali, kukerjakan dengan hitungan yang cermat langkah demi langkah, tetapi selalu saja berakhir dengan kebuntuan. Akhirnya sebagian kujawab saja dengan ilmu titen, walau masih ada beberapa soal tidak bisa kukerjakan, yang akhirnya harus kulewati tanpa kujawab.
Harus kuakui, menurutku para penyusun soal ini pastilah orang-orang hebat. Jika ikut menyusun soal Ujian Nasional, biasanya menghasilkan soal berkualitas tinggi. Menurut seorang kepala sekolah yang kukenal, soal yang bagus adalah soal yang tidak mudah dijawab oleh orang-orang biasa seperti aku. Haduh, teorinya siapa, dari buku apa, ya...! Ada lagi yang berpendapat, soal yang bermutu adalah yang menggunakan kata-kata sulit dan kalimatnya panjang laksana jembatan Suramadu, serta struktur kalimatnya rumit sehingga tidak mudah untuk menentukan jabatan SPOK-nya dalam kalimat soal tersebut. Tetapi masih ada juga guru yang berpikiran simpel, disebut soal yang baik jika dapat mengukur dan membedakan, antara anak yang paham atau sudah belajar, dengan anak yang yang belum paham dalam proses pembelajaran.
“Waktu masih tiga puluh menit lagi!” terdengar suara pengawas ujian membuyarkan konsentrasiku yang sedang berhitung tetapi selalu berakhir kebuntuan. Aku mulai terpancing dan agak jengkel, kenapa kalimatnya bukan waktu tinggal lima menit lagi? Haduh, kenapa aku jadi begini? Yang telat aku, kok malah aku menyalahkan pengawas ruangan.
Kututup naskah soalku, kulihat lembar jawabku, baru terjawab lima puluh soal. “Apakah aku kedatanganku terlambat terlalu lama, ataukah aku terlalu lama membaca soal-soal ini?” Pikiranku mulai panik.
Kuakui materi-materi yang diujikan tidak ada di buku-buku yang kemarin aku baca. Ketika kemarin kutanyakan kepada seorang pengawas, dia hanya mengirimi aku sebuah juklak yang dilampiri kisi-kisi. “Kalau hanya ini sih aku sudah punya,” batinku.
Setelah menyadari adanya ketidakjelasan tersebut, aku pun browsing agar menemukan materi yang cocok dengan kisi-kisi. Setelah lelah di depan layar monitor tanpa ada hasil signifikan, kucoba membuka file-file hasil diklat IN PKB in on in milik teman satu sekolahku. Kebetulan saat ada pemanggilan Diklat Calon Intruktur Nasional Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan in on in kemarin, dalam satu kecamatan sekolahku ada dua guru muda yang dipanggil oleh PPPPTK yang terletak di propinsi sebelah untuk mengikutinya. Walaupun selama sepuluh hari mereka tidak kebagian menginap di hotel, hanya di asrama PPPPTK dan di dalam undangannya disuruh membawa peralatan mandi sendiri, tetapi materi diklat yang diterima sangatlah bermanfaat bagi kami para guru SD.
Setelah kubaca berulang-ulang kisi-kisi OGN tersebut, ternyata banyak yang materinya ada di modul PKB. Setelah memilih beberapa halaman dan kucetak, kujilid dan kukumpulkan, akhirnya terwujud menjadi enam buku sederhana. Alhamdulillah, lumayan walau belum semua materi tercetak. Akupun berusaha mempelajari materi secara mandiri. Ternyata, oh ternyata, materi yang diujikan hari ini terlalu sulit bagiku dan tidak terdapat di modul yang kemarin aku baca.
Menu sarapan pagiku yang terdiri dari nasi kemarin sore dan telur goreng mulai bereaksi di badanku. Mataku mulai berat memandang soal-soal OGN yang semakin kabur.
“Apakah budaya literasiku masih nol? Apakah ini yang disebut Olimpiade Guru Nasional? Mungkinkah aku mampu menyelesaikan semua soal ini? Seberapa pedulikah padaku orang yang mengirimku ke mari?” beberapa pertanyaan datang bertubi-tubi di dalam hatiku. Rasa jengkel bercampur marah mulai meracuni hatiku. Detik-detik kulewati dengan perasaan was-was, takut jika soal sesulit ini sampai akhir nomor, tentu aku tidak akan mampu menyelesaikannya.
“Ya, Allah, berikan pertolonganmu!” doaku dalam hati.
Bersambung ke Anugerah itu Nyata