Cerita sebelumnya
Siang ini kurasa begitu panas. Mentari bersinar tanpa terhalang awan sedikitpun. Udara terasa kering dikulitku yang sudah mulai keriput. Sambil duduk di pinggir teras masjid, kurapikan tali sepatuku. Tadi sepulang mengajar di sekolah aku langsung menuju ke masjid ini untuk ibadah jumat. Aku sering mengikuti shalat jumat di masjid ini karena suka dengan khotbahnya yang ringkas karena menggunakan bahasa arab serta bacaan imamnya bagus, mirip bacaan imam Masjidil Haram yang sering kulihat di televisi lokal. Selain itu, masjid ini mempunyai kamar mandi yang banyak sehingga aku tidak perlu antri. Kamar mandinya juga bagus dan representatif sesuai standar pondok pesantren mahasiswa tempat aku dulu menimba ilmu waktu masih kuliah di Yogyakarta. Selain itu, masjid ini menyediakan air mineral dalam dispenser yang dilengkapi dengan teh celup, kopi, dan gula sehingga semua tamu yang mampir di tempat ini dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan.
Siang ini sehabis ibadah jumat aku dan Gus Kenzi sudah berjanji untuk membantu mengirim hasil karyaku tentang media pembelajaran berbasis TIK ke panitia lomba di Jakarta.
Kulihat ponselku sudah menunjukkan pukul 12.35 waktu Magelang Raya. Aku berbegas menuju tempat parkir dan mengambil motorku. Kunaiki motor kesayanganku yang masih setia menemaniku menjalani rutinitas sehari-hari. Dulu aku membeli motor ini secara kontan dengan gaji yang kukumpulkan selama dua tahun di awal pengangkatanku sebagai CPNS di perantauan. Walaupun banyak teman yang menawariku untuk mengganti kendaraan yang lebih baru dengan berbagai pilihan tawaran kredit, tetapi aku tetap tidak tertarik, karena menurut pendapatku pribadi, kebanyakan leasing masih menggunakan transaksi yang mengandung unsur riba. Saat ini saat banyak orang masih berdiskusi tentang ekonomi syariah, turn back riba, dan semacamnya, sepuluh tahun lalu aku sudah mempraktekkan menjauhi riba dan tetap istiqomah sampai sekarang. Suatu kefadholan yang harus kusyukuri.
“Bedanya kredit syariah dengan yang bukan syariah apa, sih?” waktu itu Harmoko, seorang guru penjaskes kelahiran lereng Merbabu meminta penjelasan saat kami makan bareng di sebuah warung padang di kawasan Mertoyudan.
“Hanya beda istilah, tapi prakteknya tetap sama,” sahut Toni cepat. Sebenarnya namanya Prayoga, tapi teman-temannya memanggilnya Toni. Karena menurut teman-teman dia kalau berkata sering waton muni, asal bicara tanpa dipikir lebih dulu.
“Beda di akad dong, Bro!” Gus Kenzi mencoba memberi pencerahan.
“Halah, kredit syariah pakai bismillah, kalo tidak pakai berarti konvensional kan?” tanya Toni lagi dengan muka serius. “Esensinya tetap sama!” tambahnya.
“Sama bagi orang yang tak tau syariat macam ente itu, Ton! Mungkin kalau bicaramu gini dengan pelaku ekonomi syariah, sudah ramai gara-gara Ucapanmu ini, Ton! Bisa masuk pasal penghinaan!” kata Gus Kenzi dengan wajah agak marah.
“Gini teman-teman, ini hanyalah masalah keyakinan kita sendiri-sendiri, yang menggunakan keyakinan kalau transaksi harus sesuai syariah ya kita hormati, teman yang tidak menggunakan ya harus kita hormati!” kataku menengahi suasana yang mulai agak memanas.
“Ya, siap! Tapi tolong jelaskan tentang perbedaanya, dong!” Harmoko masih meminta dengan ekspresi penasarannya.
“Oke, intinya begini,” kataku dengan sabar, ”tapi kalau beda pendapat, tolong jangan diperpanjang dan jangan diperdebatkan!”
Toni memandang bergantian ke arahku, Harmoko dan Gus Kenzi. “Oke, siap!” kata Toni.
“Yang pertama tentang kredit barang. Pernahkah kita masuk dealer, kemudian kita menanyakan, yang dijual cash barangnya mana, yang dijual kredit barangnya mana?” tanyaku.
“Belum!” jawab Harmoko. “Mau beli dengan kredit maupun cash, ya barangnya sama!”
“Nah, itu! Padahal harga dengan cara kredit tentu lebih mahal daripada cash, kan?’ tanyaku.
“Iya, dan logikanya memang begitu!” sahut Toni. “Apanya yang aneh?”
“Gini, Bro! Sesuai syariat yang kupahami, satu barang tidak boleh dijual dengan dua harga,” kataku dengan sabar. “Itu namanya riba nasiyah. Contohnya ya itu. Kalo dibayar cash hanya tiga belasan juta, kalau kredit bisa sampai dua puluhan juta. Iya kan?”
Harmoko mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. “Betul juga! Solusinya gimana itu?”
“Harusnya penjual menyediakan dua tempat. Yang ini barang yang dijual secara kontan, tempat yang sebelah barangnya dijual secara kredit!” kata Gus Kenzi dengan yakin.
“Sepakat!” kataku mengiyakan. “Itu salah satu solusinya!”
“Lha kalau barang yang mau kita beli adalah milik perorangan, padahal kita tidak mampu membayarnya secara kontan?” tanya Toni dengan nada tinggi seolah akan memojokkan Gus Kenzi.
“Krompyang!” terdengar suara gelas jatuh. Ternyata Toni berdiri sambil tangannya menampel gelas.
“Kau ini, Ton! Tidak sopan!” Harmoko mulai emosi.
“Maaf, maaf, tidak sengaja!” kata Toni sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada.
Semua saling berpandangan.
“Begini,” kata Gus Kenzi sambi menghela nafas, “Kita pilih sebuah lembaga pembiayaan yang kita percaya cukup syar’i, kemudian lembaga tadi yang membeli ke penjual. Setelah dibayar, lembaga pembiayaan menjual ke kita dengan mengambil keuntungan sesuai kesepakatan hasil tawar menawar dengan kita. Lha kita membayarnya dengan cara mengangsur sesuai kesepakatan.”
Toni menyahut, “Lha sama seperti lembaga meminjami kita uang lalu mengambil bunga, dong?”
“Beda, lah. Kita kan membeli barang ke lembaga keuangan, dengan cara diangsur. Tidak ada kata-kata pinjaman, pokok, bunga, jasa, dan sejenisnya!” kata Gus Kenzi.
“Terima kasih untuk pencerahannya, Ustadz!” kata Harmoko, “Aku paham sekarang!”
“Okelah, moga manfaat!” balas Gus Kenzi.
Yah, secuil peristiwa itu kembali tertayang di ingatanku. Segera ku-starter motorku agar aku tidak terlalu telat ke kediaman Gus Kenzi.
(bersambung)