Lembur Berlembar-lembar

 Cerita sebelumnya Guru Nekat



“Bapa, takut!” teriak Yoga, anak semata wayangku yang sedang belajar di ruang tengah sambil menangis. Memang sejak kecil sampai sekarang, walau sudah kelas dua SD, Yoga masih takut pada suasana sepi dan ruangan yang gelap.

“Santai dulu di situ, Nak! Kucarikan lampu emergensi!” sahutku dalam bahasa Jawa.

Walau aku dan istriku sama-sama berprofesi sebagai guru, tetapi dalam keluarga kami selalu menggunakan bahasa Jawa. Bahasa adiluhung yang berasal dari nenek moyang kami. Tentu saja dengan logat dari tempat asal kami, dialek ngapak versi Banjarnegara. Walaupun teman-teman kami menggunakan panggilan yang kekinian seperti mama papa, atau mamah papah, maupun ke-arab-an seperti abi, abah, serta umi, ataupun kebarat-baratan seperti daddy dan mami, tetapi keluarga kami tetap konsisten mempertahankan tradisi keluarga, yaitu menggunakan panggilan bapa, rama atau bapak, serta biyung atau ibu.

Kuambil ponselku untuk menerangi sebisanya. Kuraba-raba tembok tempat aku biasa meletakkan lampu emergensi. Setelah kudapat, segera kunyalakan dan kubawa ke tempat Yoga.

Ternyata Yoga sudah berhenti menangis karena ditunggui oleh ibunya.

“Bagus, lanjutkan belajarnya, nanti kalau sudah elesai ataupun ngantuk, tidurnya tidak usah nunggu Bapa, ya?” pesanku.

“Iya, Bapa!” jawab Yoga.

“Bapa mau ke mana?” tanya istriku.

“Melanjutkan pekerjaan mengetik, Bu!” jawabku.

“Buat apa to, Pa?” tanyanya ingin tahu.

“Ikut lomba membatik, Bu”.

“Membatik kok nggak pakai kain dan canting?” tanyanya keheranan.

“Membatik itu membuat media pembelajaran berbasis TIK, Bu!” jawabku dengan sabar.

“O, gitu ya, Pak? Buat yang bagus biar menang, Pa!” pesannya dengan wajah serius.

“Ya, Bu!” jawabku supaya istriku lega, padahal aku juga masih dalam taraf mulai belajar.

“Jangan malam-malam, Pa, supaya besok nggak ngantuk!” pesannya.

“Beres, Bu!” jawabku sambil menuju tempat tadi aku meninggalkan laptop.

Laptop yang kugunakan sehari-hari sudah terbilang jadul. Dengan prosesor dualcore dan memori 500 MB, kurasa tertalu berat jika harus membuka program office 2013. Itupun masih harus menanggung beban dapodik dasmen (Data Pokok Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) yang memuat data siswa, guru dan sarpras untuk kebutuhan BOS, tunjngan profesi guru dan bantuan rehab. Adapula aplikasi Pemetaan PMP (Penjaminan Mutu Pendidikan Ditjen Dikdasmen) yang memuat banyak kuisioner yang oleh beberapa teman operator sering disalahsebutkan sebagai aplikasi “Tidak pernah-Jarang-Sering-Selalu”. Adalagi aplikasi perpustakaan, yang semuanya dibuka dengan browser beralamat localhost. Selain beban terlalu berat, layarnya juga sudah ada garis vertikal yang tidak pernah hilang. Itupun harus selalu dicolokkan ke sumber arus karena baterainya sudah tidak mau menyimpan daya. Merk-nya kututup dengan stiker bergambar buah salak pondoh lereng Merapi yang sudah dikupas, tidak lupa ada bekas gigitannya.

“Ah, laptop tua, jasamu tiada terkira!”

Di laptop ini tersimpan banyak administrasi pembelajaran yang sudah kubuat, administrasi sekolah, berbagai soal US dan OSN, buku BSE KTSP maupun kurtilas, serta foto kegiatan sekolah dari tahun ke tahun. Laptop ini juga sudah berjasa untuk input data siswa sehingga BOS-nya cair sesuai keadaan riil di sekolah, siswa yang kurang mampu juga mendapat bantuan PIP, guru-guru juga merima tunjangan profesi sesuai haknya.

“Ya, Allah, semoga semua petugas lapangan PLN Kau beri keamanan dan keselamatan dalam menjalankan tugasnya!” doaku setengah berbisik.

Masih kuingat peristiwa beberapa bulan lalu, saat itu siang hari sedang berlangsung presentasi tentang model pembelajaran kurtilas pada KKG dengan menggunakan LCD proyektor. Ketika itu hujan lebat bercampur angin kencang. Tiba-tiba listrik padam. Teman-temanku langsung menunjukkan reaksinya karena kaget. Ada yang mengucapkan doa, ada pula yang langsung mengeluarkan sumpah serapahnya.

“Inna lillahi...!” terdengar suara orang yang membaca istirja’.

“Kurang ajar! Listrik sedang digunakan kok dimatikan seenak wudel-nya!” terdengar pula teriakan dari sudut belakang.

Memang saat ini kami semua masih sangat bergantung pada pasokan listrik PLN. Tetapi kurang bijak jika saat listrik mati, kita menyalahkan PLN. Walaupun kadang alirannya padam, tetapi belum sebanding dengan waktu yang lebih lama ketika alirannya hidup. Ibarat panas setahun kok hanya dihapus hujan sehari.

Pagi harinya ternyata ada berita di koran lokal bahwa jaringan listrik yang menuju tempat kami terkena pohon besar yang tumbang, dan petugas PLN yang memperbaikinya tersengat aliran listrik sehingga satu orang meninggal dan dua orang dirawat di rumah sakit.

Kubayangkan malam-malam begini petugas PLN sedang bersusah payah memperbaiki jaringan kabel listrik dengan segala resikonya, tentu nyawa taruhannya. Oleh karena itu, setiap listrik padam aku selalu mendoakan yang baik untuk para petugas PLN.

Segera kucari lilin dan kunanti sampai listrik menyala sambil menikmati kopi Ngrancah dan pisang rebus yang hampir dingin. Kulupakan semua kendala yang ada, kembali kufokuskan pada rencana media pembelajaran yang akan kubuat.

Dengan spidol besar kutuliskan di whiteboard kecil yang tergantung di dinding tentang isi media yang akan kubuat. Harus mencantumkan Standar Kompetensi, Kompetensi dasar maupun rumusan Indikatornya. Harus ada ulasan materi yang berisi teks, gambar, audio maupun video. Juga harus ada latihan soalnya.

“Byak..!” Alhamdulillah, lampu listrik kembali menyala. Segera kuhidupkan lagi laptop jadulku dengan menekan tombol power yang tandanya sudah luntur. Kubuka program power point 2013 walau harus bersabar menunggu tampilannya. Setelah sempurna, kucari recovery dokumen yang paling baru. Segera kukerjakan mumpung ide-ideku belum hilang sambil melihat-lihat catatanku yang kudapat dari selebaran maupun Gus Kenzi.

Tidak terasa karena terlalu asyik bermain dengan insert shape, insert picture, insert sound, insert video, animation, convert video dan fitur-fitur lainnya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Kusimpan semua hasil pekerjaanku agar besok atau lusa sepulang mengajar dapat kutunjukkan pada Gus Kenzi, rekan dan sahabatku di seberang kecamatan sana.


(Bersambung)

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak