Diceritakan dari berbagai riwayat, Nabi Ibrahim beserta istrinya, Hajar, dan putra mereka yang masih kecil, Ismail hidup dengan penuh kesederhanaan dan beriman teguh kepada Allah SWT.
Suatu hari, atas perintah Allah, Nabi Ibrahim membawa Hajar dan Ismail pergi jauh meninggalkan tempat tinggal mereka. Perjalanan itu melelahkan, dan tibalah mereka di sebuah lembah tandus yang gersang. Hajar khawatir karena di sana tidak ada air maupun makanan.
Dengan keikhlasan dan ketabahan, Hajar dan Ibrahim menerima takdir tersebut. Nabi Ibrahim kemudian membangun tempat bernaung sederhana untuk anak istrinya dan pergi meninggalkan mereka berdua. Hajar menerima dengan sabar saat ditinggal sendirian bersama Ismail yang masih bayi.
Hajar merasa haus dan khawatir karena persediaan bekal dan air mereka habis. Melihat sang ibu dalam keadaan demikian, Ismail yang masih bayi menangis dan meronta-ronta. Hajar pun berlari mencari air di antara dua bukit bernama Safa dan Marwa, berharap menemukan setitik air untuk anaknya.
Tujuh kali Hajar berlari bolak-balik di antara bukit Safa dan Marwa dengan penuh harap. Hingga akhirnya, di bawah hentakan kaki Ismail yang mungil, terpancarlah air dari tanah kering tersebut. Mata air itu kemudian kita kenal dengan sebutan sumur zamzam.
Seiring penyebaran agama Islam, kisah ketabahan dan keikhlasan Hajar ini terkenal hingga ke tanah Jawa. Orang Jawa di wilayah Magelang kala itu mengenal sebutan "Sayidina" untuk laki-laki yang dihormati, seperti Nabi Ibrahim. Namun, mereka bingung bagaimana menyebut perempuan terhormat seperti Hajar.
Baca juga: Lahir, hidup, sampai mati pun di Arab. Tapi nggak bisa ngomong Arab?
Karena sering mendengar kisah Hajar dari para pedagang Arab yang datang berdagang, orang Jawa akhirnya terbiasa menyebut Hajar dengan sebutan "Sayidati Hajar". Lama-kelamaan, sebutan "Sayidati" yang panjang tersebut disingkat menjadi "Siti Hajar".
Sejak saat itu, orang Jawa menggunakan sebutan "Siti" untuk perempuan yang dihormati, seperti istri dan anak perempuan Nabi. Misalnya, "Siti Aisyah istri Kanjeng Nabi Muhammad" atau "Siti Fatimah putri Kanjeng Nabi Muhammad".
Jadi, itulah asal mula sebutan "Siti" yang sering kita dengar di depan nama perempuan terhormat, terutama para istri dan anak perempuan Nabi. Sebutan ini berawal dari kisah ketabahan dan keikhlasan seorang perempuan bernama Siti Hajar.
Disclaimer:
Cerita ini bukan hasil riset sejarah, bukan pula pelajaran agama, hanya diceritakan secara lisan oleh Cak Lukman, seorang Ustad dari Kajoran, ditulis ulang oleh Kang Indi, dengan perubahan seperlunya.