Aku adalah seorang laki-laki berumur 40 tahun. Aku merasa bersyukur atas anugerah Tuhan yang dilimpahkan kepadaku. Sehari-hari aku berprofesi sebagai guru SD Negeri. Sejak pertama penempatan, aku belum berpindah tempat tugas. Tiga belas tahun yang lalu, aku mendapat surat keputusan bupati bahwa aku diterima sebagai CPNS dan ditempatkan di sebuah SD Negeri di lereng Merbabu. Oya, rumahku di Tempel, sebuah kecamatan di Sleman, Yogyakarta yang berbatasan dengan kabupaten Magelang. Setiap pagi aku menempuh jarak 40 kilometer untuk sampai ke tempat tugasku.
Siswa-siswaku menyenangkan. Ada yang humoris, ada yang kecerdasannya melebihi rata-rata anak seusianya, ada juga yang lambat. Tapi semua kuanggap dan kuperlakukan layaknya anakku sendiri.
"Assalamu’alaikum, Pak Sutrisno Hadiwijoyo!" Sapanya dengan menyebut nama lengkapku.
"Wa'alaikumussalam, bagaimana kabarmu, Nak?" jawabku.
"Baik, Pak Guru. Nanti habis pelajaran Pak Guru diminta ke rumahku. Bapak yang pesan!"
"Ada apa, Nak?"
"Acara saparan, Pak Guru!"
Saparan adalah semacam tradisi merti dusun yang diadakan di bulan Shofar. Warga biasanya gotong royong menggelar pagelaran wayang kulit atau pentas seni tradisional lainnya. Selain di tempat pagelaran, di tiap rumah mereka menyediakan berbagai suguhan untuk menyambut tamu. Masyarakat mempunyai keyakinan, semakin banyak tamu yang datang makin banyak rejeki yang akan diberikan Tuhan pada penghuni rumah. Tak heran jika tuan rumah dengan keramahan yang luar biasa dan rasa nyedulur yang tinggi menyambut semua tamunya. Ajaran "ikromul dhoyifi" atau gupuh lungguh suguh benar-benar dipraktekkan masyarakat.
Memang di tempatku mengajar masih kental tradisi nyadran, saparan atau rejeban dan acara-acara musiman lainnya.
Di kalangan guru, acara mengunjungi wali siswa pada acara-acara seperti ini kami sebut "kunjungan bergizi".
Ya, inilah indahnya mengajar di desa di bawah gunung, yang tidak dijumpai di kota-kota.
Jauhnya perjalanan dan lamanya di atas kuda besi, merupakan anugerah tersendiri bagiku. Sepanjang jalan Muntilan- Talun menyajikan pemandangan gagahnya dua gunung, Merapi Merbabu, dengan hamparan persawahan di depannya. Bukti-bukti dasyatnya erupsi Merapi tahun 2010 masih terlihat di kali Putih, Senowo, maupun Pabelan. Beberapa candi masih berdiri di pinggir jalan, ada Candi Asu dan Candi Lumbung.
Udara di sepanjang jalan di bawah gunung Merbabu pun masih segar. Hanya sesekali tercium bau menyengat dari tumpukan pupuk kandang dari kotoran ayam yang digunakan warga untuk bercocok tanam. Di kanan kiri jalan setelah Ketep Pass mataku dimanjakan dengan hijaunya tanaman seledri, stroberi, ataupun sayuran lainnya. Ketika melewati kawasan perhutani, kita dimanjakan dengan hamparan hutan pinus yang indah. Seakan perjalananku ke tempat kerja adalah wisata tersendiri bagiku. Setiap kuceritakan pemandangan ini kepada teman-teman di kampung ku, mereka berkomentar, "Bagimu, tiada hari tanpa piknik, ya"?"
Perjalananku yang lama juga kumanfaatkan untuk membaca kalimat-kalimat doa dan dzikir. Yang biasa kubaca adalah doa-doa yang mudah yang sudah kupelajari. Misalnya saja kalimat "laa ilaaha illaulohu wahdahu laa syarika lahu, lahulmulku wa lahulhamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qodiir". Dalam riwayat Imam Bukhori, pahala membaca doa ini setara dengan memerdekakan budak dari Bani Ismail, diri kita dijaga dari gangguan, dan masih banyak lagi. “Subhanallohi wa bihamdihi” adalah dosa-dosa kecil kita diampuni, walaupun banyak dosa yang kita lakukan setiap hari, baik kita sadari maupun tidak. Dan masih banyak doa dan ayat yang dapat kubaca setiap hari di perjalanan.
Pernah ada, teman guru yang mengajakku mengajukan pindah ke tempat yang lebih dekat, tetapi aku sudah cukup bersyukur bekerja di tempat ini. Walaupun jauh, tapi setiap hari aku masih dapat berjumpa dengan anak istriku, sehingga kewajibanku mendidik anak dalam keluarga tetap dapat kulakukan. Masih tertanam di hatiku, pesan rosul (melaluwi pengajian tentunya, bukan melalui mimpi), “termasuk kebahagiaan seseorang adalah jika keluarganya sholih sholihah dan rejekinya ada di negaranya sendiri (dapat dilaju dari rumah)”.
Inilah secuil kisahku, seorang guru ndeso, yang oleh para tetanggaku disebut “Tiada Hari tanpa Piknik”.