Di tanah Ponorogo yang kaya budaya, terukir legenda tentang Warok Suromenggolo (Suramenggala), seorang pendekar sakti yang tak hanya gagah berani, tetapi juga berbudi luhur dan dihormati masyarakat. Lahir dari darah biru Ki Ageng Kutu, penguasa Wengker di akhir era Majapahit, Suromenggolo mewarisi ilmu kanuragan, filsafat, dan seni dari sang ayah.
Namun, kisah hidupnya diwarnai intrik politik. Ki Ageng Kutu, kecewa dengan kepemimpinan Prabu Brawijaya V, menentang Majapahit dan mendirikan padepokan di Wengker. Di sana, ia mendidik murid-muridnya, termasuk Suromenggolo, dengan berbagai ilmu dan menanamkan nilai-nilai moral.
Suromenggolo tumbuh menjadi pendekar tangguh dan setia kepada ayahnya. Saat Raden Bathara Katong, putra Brawijaya V, berkonflik dengan Padepokan Wengker, Suromenggolo dihadapkan pada pilihan sulit: mengkhianati ayahnya atau melawan rajanya.
Dengan berat hati, Suromenggolo memilih mengabdi kepada Bathara Katong. Keputusan ini membawanya pada petualangan penuh intrik dan pertempuran sengit. Suromenggolo membuktikan keberaniannya dalam pertempuran, namun ia tak pernah melupakan ajaran ayahnya tentang moral dan budi pekerti.
Di tengah pergolakan politik, Suromenggolo tetap memegang teguh prinsipnya. Ia menjadi pelindung rakyat, penengah perselisihan, dan simbol keadilan di Ponorogo. Keteguhan dan kebijaksanaannya membuatnya dihormati sebagai Warok pertama di Ponorogo.
Kisah Warok Suromenggolo bukan hanya tentang pertempuran dan intrik, tetapi juga tentang warisan kearifan dan moral. Ia mengajarkan kita tentang kesetiaan, keberanian, dan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur dalam situasi yang penuh godaan.
Warisan Suromenggolo masih terasa hingga hari ini. Semangatnya hidup dalam jiwa para Warok Ponorogo dan menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan keadilan dalam hidup.
(Disclaimer: Cerita ini dibuat dari cerita tutur yang beredar, bukan hasil riset sejarah)