Dahulu kala, hiduplah seorang pria. Sebut saja namanya, Pak Tani. Dia tinggal di desa terpencil di Jawa. Beliau dikenal sebagai orang yang taat beragama dan selalu ingin menunaikan ibadah haji. Setelah menabung selama bertahun-tahun, akhirnya Pak Tani berhasil mewujudkan impiannya untuk pergi haji ke Mekkah.
Perjalanan Pak Tani ke Mekkah penuh dengan rintangan dan petualangan. Beliau harus menempuh perjalanan laut dan darat yang panjang dan melelahkan, melewati gurun pasir yang panas dan tandus. Di sepanjang perjalanan, Pak Tani banyak bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa yang berbeda.
Baca juga: Asal Mula Sebutan Kiai
Setelah berbulan-bulan menempuh perjalanan, Pak Tani akhirnya tiba di Mekkah. Beliau merasa sangat bersyukur dan bahagia karena dapat menunaikan ibadah haji dengan lancar. Setelah menyelesaikan semua rangkaian ibadah haji, Pak Tani memutuskan untuk menjelajahi pasar di Mekkah. Di sana, beliau melihat banyak sekali barang-barang dan hewan-hewan yang tidak pernah dilihatnya di Jawa.
Di antara keramaian pasar, Pak Tani melihat seekor hewan yang sangat menarik perhatiannya. Hewan itu memiliki kepala seperti kambing, tapi tubuhnya jauh lebih tinggi dan besar daripada sapi. Pak Tani takjub dan rasa ingin tahunya bangkit melihat hewan tersebut.
Seorang pedagang yang melihat Pak Tani kebingungan, lalu bertanya kepada beliau, kira-kira lafadz-nyanyi begini, "Min aina anta?" (Dari mana kamu berasal?)
Pak Tani yang tidak mengerti bahasa Arab, hanya bisa tersenyum malu.
Pedagang tersebut mengulang-ulang pertanyaan, sedangkan Pak Tani tetap tidak memahaminya.
Setelah berpikir keras, Pak Tani mengira bahwa pedagang tersebut sedang menjelaskan nama hewan itu.
"Oh, ini namanya unta?" gumam Pak Tani dalam hati.
Sejak saat itu, Pak Tani dan orang-orang di kampungnya selalu menyebut hewan tersebut dengan nama "unta", mengikuti apa yang diucapkan oleh pedagang Arab tersebut.
Dan begitulah, sebutan "unta" untuk hewan berkuku belah dengan punuk di punggungnya, tertanam dalam bahasa Jawa hingga saat ini.
Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa bahasa dan budaya dapat saling memperkaya satu sama lain. Pertemuan antar budaya dapat membuka wawasan dan pengetahuan baru, yang kemudian dapat diadopsi dan diadaptasi oleh masing-masing budaya.
Baca juga: Asal Mula Sebutan Kiai
Disclaimer:
Cerita ini bukan hasil riset sejarah, hanya diceritakan secara lisan oleh Cak Lukman, seorang Ustad dari Kajoran, ditulis ulang oleh Kang Indi, dengan perubahan seperlunya.