Alkisah, di kaki Gunung Telomoyo, terdapat sebuah desa makmur bernama Ngasem. Desa ini dipimpin oleh Ki Sela Gondang, seorang kepala desa yang arif dan bijaksana. Beliau memiliki seorang putri cantik bernama Endang Sawitri.
Suatu hari, Endang Sawitri mendapat kutukan yang membuatnya mengandung.
"Duh Gusti, mohon ampuni dosa hamba. Hamba rela menanggung kutukan ini demi keselamatan anak hamba."
Akhirnya Endang Sawitri melahirkan seorang anak berwujud naga. Anak naga ini diberi nama Baru Klinthing oleh Endang Sawitri.
Seiring waktu, Baru Klinthing tumbuh menjadi naga yang gagah perkasa. Namun, dia selalu merasa berbeda dan terasing dari anak-anak lainnya.
Rasa ingin menjadi manusia biasa mendorong Baru Klinthing untuk melakukan tapabrata di Gunung Telomoyo. Dengan tekad yang kuat, dia melilitkan tubuhnya di batang pohon hingga mencapai puncak gunung.
Di hutan tersebut, sekelompok pemburu dari Desa Pathok yang sedang mencari buruan untuk pesta di desanya merasa kesal. Sudah tengah hari mereka tidak mendapat buruan satupun.
"Kita istirahat dulu saja," perintah ketua rombongan sambil menancapkan parangnya di sebatang kayu yang telah rubuh dan ditumbuhi lumut.
Tiba-tiba dari batang pohon tersebut mengalir cairan merah.
"Kakang, ini getah pohonnya kok merah?" tanya salah satu pemburu.
"Coba kita lihat," jawab ketua.
Ternyata batang yang mereka kira pohon yang sudah roboh tersebut adalah badan seekor ular besar. Mereka pun segera memotong-motong tubuh ular itu dan dagingnya dibawa pulang ke desa mereka.
Baru Klinthing yang merasakan sakit pada ekornya, akhirnya dapat berubah menjadi manusia. Ia turun dari gunung dan mencari sumber rasa sakit itu. Sampai di Desa Pathok, dia melihat penduduk desa sedang mengadakan pesta rakyat dengan hidangan yang lezat.
Dengan rasa lapar dan hati yang pilu, Baru Klinthing mencoba meminta makanan kepada penduduk desa. Namun, karena penampilannya yang lusuh dan bau amis, dia malah dicaci maki dan diusir dengan kejam.
Hati Baru Klinting hancur. Menangis tersedu-sedu, dia meninggalkan desa dan berjalan tanpa tujuan. Di tengah perjalanannya, dia bertemu dengan seorang nenek tua bernama Nyai Latung yang tinggal di sebuah gubuk kecil.
"Nek, mengapa mereka begitu jahat padaku? Aku hanya ingin makan dan merasakan kasih sayang mereka," ujar Baru Klinthing.
Dengan iba hati, Nyai Latung memberikan makanan dan minuman kepada Baru Klinthing.
"Nak, jangan bersedih hati. Nenek akan selalu menjagamu," ujar Nyai Latung penuh iba.
"Desa ini akan menerima balasan atas perbuatan mereka. Air mata kesedihanku akan menjadi air bah yang menenggelamkan desa ini!" sumpah Baru Klinthing.
"Nek, aku pamit dulu! Terima kasih untuk semua bantuanmu, Nek!" ucap Baru Klinthing.
"Hati-hati, Nak!" pesan Nyai Latung.
Sebelum pergi, Baru Klinthing berpesan kepada Nyai Latung untuk segera naik ke atas lesung jika mendengar suara kentongan.
Baru Klinthing kemudian kembali ke Desa Pathok dan menantang penduduk desa untuk mencabut sebatang lidi yang tertancap kuat di tanah. Ajaibnya, tidak ada satupun yang mampu mencabutnya, bahkan orang yang paling kuat sekalipun. Setelah semua warga menyerah Baru Klinthing , dengan mudahnya mencabut lidi tersebut.
Tanpa disangka, lubang bekas tancapan lidi itu menyemburkan air yang sangat deras. Semakin lama, semburan air itu semakin deras dan berubah menjadi banjir bandang yang dahsyat. Penduduk desa panik dan berlarian menyelamatkan diri.
Nyai Latung yang mendengar suara kentongan, segera menaiki lesung seperti pesan Baru Klinthing . Air bah yang menerjang desa, membawa lesung Nyai Latung ke tempat yang aman.
Dari atas lesung, Nyai Latung menyaksikan dengan pilu para tetangganya yang tenggelam terbawa arus banjir.
"Terima kasih, Nak, telah berwasiat agar nenek selamat. Nenek akan selalu mendoakanmu."
Setelah banjir surut, Nyai Latung mendapati bahwa hanya dirinyalah yang selamat dari bencana tersebut. Di hadapannya, terbentang luas hamparan air yang jernih. Nyai Latung kemudian menamakan tempat itu dengan nama Rawa Pening, yang berarti "rawa yang jernih".
Legenda Baru Klinthing ini menjadi pengingat bagi kita tentang kekuatan tekad, rasa iba hati, dan konsekuensi dari perbuatan manusia. Kisah ini juga menjadi asal-usul nama Rawa Pening, salah satu danau terindah di Jawa Tengah.
(Seperti diceritakan oleh Pak Warsono, Guru SD)