Awal (Berakhirnya) SD Negeri

 


Awal (berakhirnya) SD Negeri

Sebagai orang Jawa tulen (asli, bukan keturunan walanda), Sodrun dan Gus Madi mengangguk-angguk mengiyakan saat membaca sebuah tulisan di media daring “Iya, murid-murid di sini memang sedikit. Gara-gara ada program KB.”

Di daerah sini, sebutan “Gus” ada minimal dua macam, yang satu untuk memanggil putra kiyai, yang satunya lagi sebutan bagi teman akrab yang lebih muda, kependekan dari “Cah Bagus”. Nah, Gus Madi ini masih keluarga kiyai di daerah sini, wajahnya cool mirip bintang kethoprak sayembara TVRI Jogja jaman dulu, dan umurnya pun lebih muda daripada Sodrun. Sodrun dan Gus Madi sama-sama berprofesi sebagai guru di SD negeri yang berbeda tapi masih satu wilayah. Siang itu sudah saatnya rolasan, wajar jika mereka merasa jenuh ketika mengikuti kegiatan KKG yang isinya penuh pemaparan permen-permen tentang kurikulum. Untuk mengusir kejenuhan, Gus Madi membuka laptopnya.

Menurut mereka sih, betul banget, dan tentunya masih banyak faktor lain yang ikut mengurangi jumlah siswa baru di SD (=SD negeri, lho, entah kalau luar negeri). Sejak jaman SD negeri dibangun dengan inpresnya Pak Harto, sampai saat ini kuantitasnyanya semakin berkurang. Bahkan ada yang gedungnya baru selesai direnovasi, selang tak begitu lama, SD tersebut terkena merger (lah, kok mirip bank, lebih tepatnya mungkin regrup po ya?) dan semua siswa serta gurunya dipindah ke SD negeri terdekat karena jumlah murid yang hanya sedikit. Akhirnya gedung bagus tadi mangkrak bertahun-tahun, halamannya penuh semak dan rumput liar, lebih mirip ajang uji nyali daripada sebuah gedung pendidikan. Banyak teman guru SD negeri juga meyakini bahwa suksesnya program KB di wilayah mereka menyebabkan murid SD mereka semakin sedikit. Wow, berarti anugrah bagi penyuluh/petugas KB, musibah bagi guru di SD negeri dong?

Ah, jangan membenturkan antara tenaga kesehatan (praktisi KB) dengan tenaga pendidikan lah! Masih banyak faktor lain. Apalagi ada peraturan baru tentang PPDB, entah permen nomor berapa tahun berapa, mereka sudah lupa untuk menghafalnya. Salah satu aplikasi lapangan dari permen tersebut, jika kelasnya hanya satu rombel/tidak paralel, maka jumlah siswa maksimal 28 dalam kelas itu. Jika paralel, maka 1 A minimal 20, kelas 1 B nya juga minimal 20. Berarti jika hanya ada 37 siswa kelas 1, maka hanya boleh membuka satu rombel yang menampung maksimal 28 anak. (Bener tidaknya analisa ini, juga masih dipertanyakan, lho)

“Huwalah, yang 9 anak disuruh nyari SD lain dong? Bijimane nih, bapak ibu perumus aturan ini?” tanya teman-teman guru (mayoritas yang bersertifikat pendidik) dengan wajah panik. Entah, apa korelasi antara banyak murid dengan sertifikasi guru SD Negeri, Sodrun juga nggak begitu faham.

Pripun kalau mereka pindah ke SD swasta, padahal SD swasta menerapkan aturan PPDB yang berbeda?”

Sodrun hanya mengangguk-angguk, entah mudheng apa nggak.

"Iya, walau jumlah SD negeri semakin berkurang, jumlah SD swasta makin bertambah," tambah Gus Madi.

Bahkan ada yayasan yang membuka SD baru seperti mendirikan indomaret alfamart, menjamur di mana-mana. Sulit berkompetisi dengan SD swasta, ini juga menjadi penyebab semakin merosotnya jumlah siswa di SD negeri. Walaupun kadang kualitasnya seimbang pun, SD negeri sering kalah branding dengan SD swasta terdekat karena SD Negeri wajib menerapkan “Pendidikan Gratis bagi Seluruh Siswa”. Padahal ternyata, orang tua jaman now, sering ber-mind set, pendidikan yang berkualitas itu ya harus mahal dong, ono rego ono rupo. Coba saja pemirsa gugling di medsos, banyak guru PNS mengajar di SD negeri, tapi sangat bangga memamerkan anaknya yang bersekolah di SD bukan negeri. Apakah berdampak bagi pemirsa sosmed lainnya?

Yulah, kok koyo ngene, Gus?

Jangankan mikir begituan, Sodrun nggak akan kuat, biar Dulan saja. Lhaa wong antara sebutan "ASN po PNS" (yang benar yang mana) saja dia masih bingung. Dulu katanya Pak Jare, setelah diundangkanya revisi UU ASN, sebutan PNS diganti ASN. Tapi kok hari ini ada pendaftaran CPNS melalui sistem seleksi CPNS nasional, ya, bukan pendaftaran CASN?

Mirip-mirip seorang instruktur yang melarang sebutan "siswa", harus diganti "peserta didik" kemudian beliau bertanya kepada peserta workshop, "Ibu membuat urutan pada daftar kelas berdasarkan apa, abjad apa NIS?"

Semua peserta melongo, katanya tadi nggak boleh pakai "siswa", harusnya bertanyanya beliaunya gini dong:""Ibu membuat urutan pada daftar kelas berdasarkan apa, abjad apa NIPD?"

Kalau yang ini, Gus Madi juga ikutan bingung, karena sebagai guru kelas enam, dia sering diminta oleh kepala sekolahnya untuk mencantumkan NISN pada ijazah para lulusannya, bukan NIPDN.

Yullah, kojuur, tenan, Gaes..!

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak